Selasa, 13 November 2007

Banten, Belajarlah dari Malaka

Banten di ujung barat Pulau Jawa dan Malaka di pantai barat Semenanjung Malaka memiliki kesamaan sebagai situs sejarah dunia. Banten dan Malaka memiliki warisan Islam, Melayu, pertemuan bangsa-bangsa Barat, India, Tionghoa, dan perdagangan dunia di masa silam pada periode sekitar abad XV-XVIII.

Sejarah di Malaka telah menjadi sumber devisa dan salah satu ikon bangsa Malaysia. Begitu mudah menjangkau Malaka, sekitar 150 kilometer dari Kuala Lumpur. Setiba di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) kita dapat langsung menyewa mobil dan meluncur di jalan tol utara-selatan (North-South Highway). SIM Indonesia dapat digunakan di negara ASEAN.

Selama satu setengah jam berkendara, tiba di persimpangan Ayer Keroh (Air Keruh) dan sampailah kita di Malaka. Jalan mulus, seluruh rambu terpampang jelas, brosur tersedia cuma-cuma, pusat informasi dilayani oleh staf yang mampu berbicara dua atau tiga bahasa.

Pariwisata Malaka secara spesifik menjual serangkaian situs, seperti Stadhuys (Balaikota), Gereja ST Paul tempat Santo Fransiskus Xaverius dimakamkan, Museum Bahari dengan ikon sebuah Galleon Portugis, Museum Cheng Ho, pemukiman Eurasia, Pecinan, budaya campuran Tionghoa-Melayu yang dikenal sebagai kaum peranakan.

Permukiman dan bangunan tua gaya Victoria di Heeren Street (sekarang dinamai Jalan Tun Tan Cheng Lock) berikut seni kuliner yang hidup hingga kini menjadi jualan utama. Hasilnya: setiap hari tidak kunjung henti wisatawan asing memenuhi Malaka.

Variasi pengembangan wisata turut berjalan mengiringi wisata sejarah. Setiap akhir pekan, sejak Jumat-Minggu, berlangsung pasar malam di Kota Tua Malaka yang berlangsung hingga pukul 02.00 dini hari. Itulah kejayaan Malaka yang dibangun Parameswara, bangsawan dari Sumatera keturunan Majapahit dan kini dijual sebagai mesin penghasil devisa.

Banten lebih kaya
Sejatinya, seluruh Provinsi Banten dapat dikemas sebagai wisata sejarah. Banten Lama dengan kisahnya yang memikat tidak kalah dengan Malaka. Benteng Spelwijk, misalnya, jauh lebih besar dari A Famosa di Malaka atau Fort Cornwallis di Penang.

Menara Masjid Agung dan Menara Masjid Pecinan Tinggi dapat menjadi situs ziarah Islam dunia atau setidaknya regional. Situs sejenis ada di Gresik, Pattani, Thailand, pada sebuah masjid tanpa atap yang kini menjadi situs ziarah regional.

Kanal-kanal Banten Lama dapat dikemas menjadi wisata air, seperti di Amsterdam, Belanda, yang menjual Prinsen Gracht, Keizer Gracht, dan Heeren Gracht yang diapit bangunan tua. Kanal yang membelah Benteng Spelwijk, Wihara Awalokiteswara, Pabean, dan pelbagai kampung Banten Lama memiliki potensi serupa.

Lepas dari Banten Lama, terdapat situs Perang Dunia II di Teluk Banten. Pada pertempuran Laut Jawa babak akhir, HMAS Perth dan USS Houston tenggelam setelah bertempur dan sempat menenggelamkan sejumlah kapal pendarat pasukan Jepang. Pada situs serupa di sekitar perairan Surabaya-Pulau Bawean, secara berkala Angkatan Laut Belanda mengadakan tabur bunga.

Namun, tidak seperti di Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, dan negara-negara Pasifik, situs Perang Dunia II ini tidak dilestarikan dan dijadikan pusat wisata sejarah yang didatangi para veteran perang, sanak-keluarga, dan wisatawan asal negara yang terlibat dalam perang besar yang mengubah wajah dunia modern. Bangkai kapal USS Arizona yang tenggelam di Hawaii menjadi situs sejarah dan pusat wisata.

Belum lagi Jalan Pos Anyer Panarukan yang dibangun saat Nusantara di bawah Perancis. Titik "0" kilometer Pulau Jawa dimulai dari Menara Mertju Suar Anjer yang bertarikh 1885. Sejarah letusan Krakatau tahun 1883 yang terkenal di seluruh dunia juga dapat dijual dengan cerita dan bumbu yang menarik. Sebagai contoh, sebuah batu karang yang terangkat dari dasar laut akibat tsunami selepas letusan Krakatau dan terdampar di tengah daratan dekat Kantor Telkom Anyer dapat dijadikan lokasi wisata tersendiri.

Ikon lain yang tak kalah penting adalah wisata alam Ujung Kulon dengan badak cula satu yang tersisa di dunia. Perairan Selat Sunda, Pantai Anyer, Masyarakat Baduy. Selain itu, ikon masyarakat Banten secara keseluruhan sebagai "museum hidup" yang melestarikan warisan sejarah dan kebesaran leluhur mereka. (Iwan Santosa, Kompas, 8 November 2007 )

Tidak ada komentar: